ADAT BUDAYA BATAK DALIHAN NA TOLU

December 12, 2006 at 10:31 am (Uncategorized)

ANALISIS DARI SUDUT PRINSIP SERTA URGENSINYA DALAM
MERAJUT INTEGRASI DAN IDENTITAS BANGSA

Oleh : Anwar Saleh Daulay
Ketua Jurusan Pendidikan Agama Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara

Pendahuluan
Indonesia selain memiliki wilayah yang luas, juga mempunyai puluhan bahkan ratusan adat budaya. Salah satu diantaranya adalah adat budaya Batak Sumatera Utara, sesungguhnya setiap adat budaya merupakan potensi yang bernilai guna bilamana dijaga dan dilaksanakan dengan baik. Rahmani Astuti (1992:145) mengatakan bahwa nilai adat budaya sangat berguna untuk mengaktualkan nilai-nilai estetika dalam kehidupan kita, dan sekaligus ia dapat dijadikan sebagai intrumen penjaga identitas dan perekat kesatuan bangsa.

Dewasa ini bangsa kita menghada! pi berbagai tantangan, diantaranya adalah terusiknya aspek integritas dan identitas bangsa yang sangat majemuk. Indikasi terhadap terjadinya disintegrasi telah muncul di beberapa tempat seperti Aceh, Riau, Irian Jaya, dll. Mereka menuntut keseimbangan keuangan pusat dan daerah bahkan menuntut kemerdekaan. Berkenaan dengan masalah bangsa tersebut, pertanyaan yang muncul adalah bagaimanakah cara memelihara integritas dan identitas masyarakat kita yang terancam luntur itu?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita perlu mengetahui problema yang melatarbelakanginya. Di antara problema yang ada mengungkapkan bahwa latar belakang timbulnya diintegrasi dan erosi identitas adalah berkaitan dengan gaya (style) kebijakan pembangunan masa lalu (baca: masa orde baru) yang antara lain (1) penerapan sentralisme dalam segala hal, (2) uniformisme terhadap banyak pranata sosial budaya, (3) derasnya intervensi budaya asing. Akibat dari kebijakan itu adalah tergang! gunya potensi budaya lokal sebagai alat pembina jiwa integritas dan identitas bangsa yang terkenal dengan semboyan bhineka tunggal ika.

MD Harahap (1986:24) mengatakan bahwa beberapa daerah ternyata memiliki sejumlah mekanisme kepemimpinan dan kearifan sebagai bagian dari nilai adat budaya. Dalam konsep adat budaya daerah terdapat beberapa kearifan lokal dan sejumlah kepemimpinan lokal yang kesemuanya potensial dalam menata masyarakat damai dengan identitas dan integritas bangsa yang kuat.

Akibat dari kebijakan masa lalu yang cenderung melemahkan potensi daerah, dan dikaitkan dengan realitas terganggunya kerukunan khidupan bangsa, maka sudah selayaknya nilai-nilai adat budaya dihidupkan kembali untuk memperkuat jiwa integritas dan identitas bangsa. Dengan cara mengenalkan dan mensosialisasikannya kembali adat budaya di tengah-tengah masyarakat diharapkan masyarakat Indonesia memiliki landasan adat budaya sehingga mampu menangkal pengaruh-pengaruh yang merusak sistim nilai-nilai sosial budaya. Dalam usaha mengenalkan adat budaya daerah itulah maka adat budaya Batak Dalihan Na Tolu disajikan. Untuk melakukan pengkajian, penilaian, dan pengenalan kembali adat budaya batak dewasa ini dicoba disoroti dengan cara menjawab pertanyaan: dimana, apa, mengapa, dan bagaimana adat budaya Batak itu.

Dimana Wilayah Adat Budaya Batak
Suku batak mempunyai lima sub suku dan masing-masing mampunyai wilayah utama, sekalipun sebenarnya wilayah itu tidak sedominan batas-batas pada zaman yang lalu. Sub suku dimaksud yaitu: (1) Batak Karo yang mendiami wilayah dataran tinggi Karo, Deli Hulu, Langkat Hulu, dan sebagian tanah Dairi; (2) Batak Simalungun yang mendiami wilayah induk Simalungun; (3) Batak Pak Pak yang mendiami wilayah induk Dairi, sebagian Tanah Alas, dan Gayo; (4) Batak Toba yang mendiami wilayah meliputi daerah tepi danau Toba, Pulau Sam! osir, Dataran Tinggi Toba, dan Silindung, daerah pegunungan Pahae, Sibolga, dan Habincaran; dan (5) Batak Angkola Mandailing yang mendiami wilayah induk Angkola dan Sipirok, Batang Toru, Sibolga, Padang Lawas, Barumun, Mandailing, Pakantan, dan Batang Natal. (Nalom Siahaan: 1982:X).

Menurut tarombo (silsilah) orang Batak, semua sub-sub batak itu mempunyai nenek moyang yang satu yaitu si Raja Batak (W. W. Hutagalung, 1990:7). Dari si Raja Batak inilah bekembang sub-sub suku Batak yang mengembara ke wilayah-wilayah teritorial di atas sejalan dengan perkembangan pemukiman baru atau perkotaan yang semakin meluas. Setiap pembukaan kampung baru biasanya diringi dengan penabalan marga baru terhadap orang yang membuka perkampungan tersebut. Cara ini terutama dilaksanakan dilingkungan sub-sub suku Batak Toba, sehingga dengan demikian jumlah marga dilingkungan suku Batak Toba adalah relatif lebih banyak jumlahnya, berbeda dengan jumlah marga pada sub suku Batak Mand! ailing Angkola yang relatif lebih sedikit jumlahnya karena tidak menerapkan cara penebalan marga baru. Marga dilingkungan suku Mandailing Angkola adalah hanya belasan jumlahnya, yaitu Nasution, Lubis, Siregar, Harahap, Hasibuan, Batu Bara, Dasopang, Daulay, Dalimunthe, Dongoran, Hutasuhut, Pane, Parinduri, Pohan, Pulungan, Siagian, Rambe, Rangkuti, Ritongga, dan Tanjung (St. Tinggibarani, 1977 : iii). Sedang marga pada subsuku Batak Toba adalah puluhan jumlahnya. Semua sub suku Batak yang disebut di atas telah meluas dan tersebar di Sumatera Utara, berintegrasi dengan suku-suku bangsa lainnya.

Di berbagai tempat di luar Sumatera Utara suku Batak banyak dijumpai sebagai perantau dan di daerah rantau suku batak biasanya tetap terikat dengan adat budaya sukunya. Misalnya di Sumatera Barat antara lain banyak terdapat di Rao, Lembah Malintang, dan Lubuk Sikaping (Kabupaten Pasaman); Lima Kaum (Kabupaten Tanah Datar); dan Lubuk Bagalung (Kabupaten Padang Pariaman! ). Di Propinsi Riau banyak terdapat di Tambusai, Rambah, Rokan, Tandun, dan Kota Darusalam Kabupaten Kampar. Kebanyakan perantau suku Batak di kedua propinsi ini adalah suku Batak Angkola Mandailing.

Nalom Siahaan (1982:48) mengatakan bahwa sekalipun di rantau suku Batak selalu peduli dengan identitas sukunya, seperti berusaha mendirikan perhimpunan semarga atau sekampung dengan tujuan untuk menghidupkan ide-ide adat budayanya. Mereka mengadakan pertemuan secara berkala dalam bentuk adat ataupun silaturahmi.
Mobilitas orang Batak yang cukup tinggi mengantarkan mereka ke berbagai penjuru tanah air di Indonesia bahkan sampai ke luar negeri, seperti ke Malaysia. Di negeri jiran ini, yakni negara bagian Perak, terdapat nama kampung yang sama dengan kampung asal para migran Mandailing Angkola seperti kampung “Sihepeng”. Di negeri jiran itu juga mereka mendirikan paguyuban kedaerahan yang bernama “Ikatan Kebajikan Mandailing Malaysia” (Harahap. E.St, 1960:27). Adat budaya Batak sebenarnya sudah dikenal sebagai bagian budaya Nusantara sejak zaman Majapahit. Hal ini dengan jelas diungkapkan oleh sejarawan Majapahit Mpu Prapanca dalam karya monumentalnya Negarakertagama yang bertarikh 1365 M, yang menyebutkan ada tiga daerah budaya Batak Mandailing, yaitu Angkola, Mandailing, dan Padanglawas. (Harahap B. Hamidi, 1979:8)

Dari catatan sejarah diketahui bahwa berbagai pengaruh luar sudah lama memasuki wilayah daerah Batak. Pada Batak Angkola Mandailing pengaruh yang kuat adalah dari dunia Islam. Sedang di daerah Batak Toba pengaruh yang kuat adalah dari misi Kristen pada permulaan abad 19.

Tidak dapat disangkal bahwa berbagai pengaruh yang berlangsung berabad-abad telah menjadikan akulturasi dalam suku Batak dengan berbagai variasi dalam adat budaya Batak seperti langgam bahasa, dialek, pakaian adat, dan lain-lain. Namun demikian ada nilai inti (core values) yang tetap baku dan berlaku bagi seluruh sub suku Batak di wilayah dimanapun ia berada, yaitu adat Dalihan Na Tolu, dimana adat ini dapat menembus sekat-sekat agama/kepecayan kedalam suatu kesatuan sosial.

Apa Nilai Inti Budaya Batak Itu?
Nilai inti budaya (core values of culture) suatu bangsa atau suku bangsa biasanya mencerminkan jati diri suku atau bangsa yang bersangkutan. Sedangkan jati diri itu maksudnya merupakan gambaran atau keadaan khusus seseorang yang meliputi jiwa atau semangat daya gerak spiritual dari dalam. Dari pengertian itu dapat dipahami bahwa nilai inti budaya Batak cukup luas. Dari berbagai kajian terhadap sejumlah ungkapan kata-kata, aksara orang Batak yang diikuti dengan pengalaman adat budaya tersebut dalam kehidupan sehari-hari, maka dapat dilihat adanya tujuh macam nilai inti budaya suku Batak. Ketujuh nilai inti budaya Batak dimaksud ialah kekerabatan, agama, hagabeon! , hamoraan, uhum dan ugari, pangayoman, dan marsisarian. Secara ringkas nilai tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

(1) Kekerabatan
Nilai kekerabatan atau keakraban berada di tempat paling utama dari tujuh nilai inti budaya utama masyarakat batak. Hal ini terlihat baik pada Toba maupun Batak Angkola Mandailing dan sub suku Batak lainnya. Semuanya sama-sama menempatkan nilai kekerabatan pada urutan yang paling pokok. Nilai inti kekerabatan masyarakat batak utamanya terwujud dalam pelaksanaan adat Dalihan Na Tolu. Hubungan kekerabatan dalam hal ini terlihat pada tutur sapa baik karena pertautan darah ataupun pertalian perkawinan.
(2) Agama
Nilai agama/kepercayaan pada orang Batak tergolong sangat kuat. Sedang agama yang dianut oleh suku batak amat bervariasi. Menurut data (Departemen Agama Sumatera U! tara, 1999) ada wilayah Batak yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam seperti Angkola Mandiling, ada wilayah Batak yang mayoritas penduduknya menganut agama Kristen seperti Batak Toba, dan ada wilayah Batak yang prosentase penganut agamanya berimbang seperti wilayah Batak Simalungun.
Secara intensif ajaran agama telah disosialisasikan kepada anak-anak orang Batak sejak masa kecilnya dengan penuh pengawasan. Diantara pengajaran agama (khususnya Islam) yang diberikan ialah belajar membaca/mengaji al-Qur’an sejak kecil. Belajar ibadah dilaksanakan di rumah ibadah. Dalam pengaturan upacara perkawinan nuansa keagamaan cukup menonjol, demikian juga dalam suasana kematian.
Fenomena keagamaan kadang-kadanng menjadi lebih kuat dari fenomena adat, khususnya di lingkungan suku masyarakat Mandailing Angkola. Tampilnya nuansa agama lebih dominan di lingkungan masyarakat Mandailing Angkola karena didukung oleh sarana pendidikan agama ya! kni pondok pesantren yang banyak jumlahnya didaerah itu. Diketahui bahwa 32 dari 70 pondok pesantren di Sumatera Utara terdapat di wilayah Mandailing Angkola, Padanglawas, dan Sipirok.
Bukti pengaruh agama Islam yang dominan dalam kehidupan masyarakat Batak Mandailing Angkola terlihat dalam perjodohan/perkawianan semarga dapat diterima di sana (meskipun jarang terjadi). Padahal perkawinan semarga secara jelas dilarang dalam adat Batak, karena dinilai sumbang atau inces. Diterima kawin semarga oleh mereka jelas merupakan kuatnya keyakinan agama yang membolehkan itu. Siapa yang dapat dijodohkan dan siapa yang tidak dapat dijodohkan jelas disebutkan dalam Islam, misalnya dalam al-Qur’an surat an-Nisa 23-24 dengan jelas disebut siapa yang boleh dinikahi, tidak ada dalam ayat itu larangan kawin semarga, kecuali muhrimnya.
(3) Hagabeon
Nilai budaya hagabeon berm! akna harapan panjang umur, beranak, bercucu yang banyak, dan baik-baik. Dengan lanjut usia diharapkan ia dapat mengawinkan anak-anaknya serta memeperoleh cucu. Kebahagiaan bagi orang Batak belum lengkap, jika belum mempunyai anak. Terlebih lebih anak laki-laki yang berfungsi untuk melanjutkan cita-cita orang tua dan marganya. Hagabeon bagi orang Batak Islam termasuk keinginannya untuk dapat menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekkah.
Namun mengenai jumlah anak yang banyak (secara adat diharapkan memiliki 17 laki-laki dan 16 perempuan = 33 anak) yang telah berakar lama, telah mengalami pergeseran dari bersifat kuantitas pada anak yang berkualitas, mempunyai ilmu dan keterampilan hidup sekalipun jumlahnya tidak banyak. Peranan program KB (Keluarga Berencana) yang dilancarkan pemerintah cukup dominan dalam merubah pandangan tersebut.
Seseorang makin bertambah kebahagiaannya bila ia mampu menempatkan diri pada posisi adat di ! dalam kehidupan sehari-hari. Jelasnya perjuangan yang berdiri sendiri tetapi ditopang oleh keteladanan dan pandangan yang maju.
(4) Hamoraan
Adapun nilai (kehormatan) menurut adat Batak adalah terletak pada keseimbangan aspek spiritual dan material yang ada pada diri seseorang. Kekayaan harta dan kedudukan/jabatan yang ada pada seseorang tidak ada artinya bila tidak didukung oleh keutamaanspiritualnya. Orang yang mempunyai banyak harta serta memiliki jabatan dan posisi tinggi diiringi dengan sifat suka menolong/memajukan sesama, mempunyai anak keturunan serta diiringi dengan jiwa keagamaan maka dia dipandang mora (terhormat).
(5) Uhum dan Ugari
Nilai uhum (law) bagi orang Batak mutlak untuk ditegakan dan pengakuaanya tercermin pada kesungguhan dalam penerapannya menegakan keadilan. Nil! ai suatu keadilan itu ditentukan dari keta’atan pada ugari (habit) serta setia dengan padan (janji). Setiap orang Batak yang menghormati uhum, ugari, dan janjinya dipandang sebagai orang batak yang sempurna.
Keteguhan pendirian pada orang Batak sarat bermuatan nilai-nilai uhum. Perbuatan khianat terhadap kesepakatan adat amat tercela dan mendapat sangsi hukum secara adat. Oleh karena itu, orang Batak selalu berterus terang dan apa adanya tidak banyak basa-basi.
(6) Pengayoman
Pengayoman (perlindungan) wajib diberikan terhadap lingkungan masyarakat, tugas tersebut diemban oleh tiga unsur Dalihan Na Tolu. Tugas pengayom ini utamanya berada di pihak mora dan yang diayomi pihak anak boru. Sesungguhnya sesama unsur Dalihan Na Tolu dipandang memiliki daya magis untuk saling melindungi. Hubungan saling meli! ndungi itu adalah laksana siklus jaring laba-laba yang mengikat semua pihak yang terkait dengan adat Batak. Prinsipnya semua orang menjadi pengayom dan mendapat pengayoman dari sesamanya adalah pendirian yang kokoh dalam pandangan adat Batak.
Karena merasa memiliki pengayom secara adat maka orang Batak tidak terbiasa mencari pengayom baru. Sejalan dengan itu, biasanya orang Batak tidak mengenal kebiasaan meminta-minta pengayom/belas kasihan atau cari muka untuk diayomi. Karena sesungguhnya orang yang diayomi adalah juga pengayom bagi pihak lainnya.
(7) Marsisarian
Marsisarian artinya saling mengerti, menghargai, dan saling membantu. Secara bersama-sama masing-masing unsur harus marsisarian atau saling menghargai. Di dalam kehidupan ini harus diakui masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan sehingga saling membutuhkan pengertian, bukan saling menyalahkan.
Bila terjadi konflik diantara kehidupan sesama masyarakat maka yang perlu dikedepankan adalah prinsip marsisarian. Prinsip marsisarian merupakan antisipasi dalam mengatasi konflik/pertikaian.

Mengapa Adat Budaya Dalihan Na Tolu Dilestarikan
Suatu suku bangsa akan lenyap bilamana mereka tidak memiliki pegangan dalam mengatur kehidupan bermasyarakat. Pegangan dimaksud adalah adat budaya yang terdapat pada suatu masyarakat . Oleh karena itu, nilai adat budaya perlu dikenalkan agar masyarakat sekarang dan yang akan datang mampu berprilaku sesuai tuntutan adat budaya yang dijunjung.

Kita mengajarkan adat budaya kepada generasi muda selain sebagai sumbangan nyata, juga sebagai upaya membantu tegaknya tertib sosial kepada angkatan muda. Pengalaman pahit atau manis yang dialami oleh satu suku bangsa/etnis memang dapat mengembangkan! nilai adat yang dilakukannya dan sejauhmana dia konsisten dengan nilai adatnya.

Dalam kaitan itulah mengapa adat Dalihan Na Tolu (DNT) diajarkan dilingkungan suku Batak. Ia merupakan adat istiadat yang bertalian erat dengan sistem kekerabatan suku batak. Adat DNT secara harfiah berarti tiga tungku. Hal ini bisa dianalogikan dengan tiga tungku-masak di dapur tempat menjarangkan periuk. Maka adat Batakpun mempunyai tiga tiang penopang dalam kehidupan, yaitu (1) pihak semarga (in group), (2) pihak yang menerima istri (wife receving party), (3) pihak yang memberi istri (giving party). (Nalom Siahaan, 1982:20).

Dengan perkawianan terjadilah ikatan dan integrasi diantara tiga pihak yang disebut tadi, seolah-olah mereka bagai tiga tungku di dapur yang besar gunanya dalam menjawab persoalan hidup sehari-hari. Cukup banyak fungsi adat ini bagi masyarakat pendukungnya, diantaranya pati dohan holong yang ar! tinya menunjukan kasih sayang diantara sesama yang penuh sopan santun/etik. Dari fungsinya yang penuh kehidmatan maka adat DNT dapat diterima oleh setiap etnis Batak sekalipun mereka berbeda-beda agama. Mereka yang menganut agama Islam, Kristen, Katolik, dan Budha kadang-kadang begitu erat ikatannya karena konsep adat telah terbentuk sejak mulai lahirnya kelompok masyarakat yang identitas utamanya adalah adanya marga. Dengan marga itu orang Batak akan setia tehadap ketentuan adatnya di manapun mereka berada (Nalom Siahaan 1982:5).

Marga bagi orang Batak biasanya adalah identitas yang menunjukan silsilah dari nenek moyang asalnya. Sebagaimana diketahui marga bagi orang Batak diturunkan secara patrinial artinya menurut garis ayah. Sebutan berdasarkan satu kakek dalam marga yang sama markahanggi (semarga). Orang batak yang semarga merasa bersaudara kandung sekalipun mereka tidak seibu-sebapak. Mereka saling menjaga, saling melindungi, dan saling tolong-menolong (St. Tinggi Barani P. Alam 1977:5).

Fungsi lainnya dari adat DNT adalah pengenalan garis keturunan hingga jauh ke atas yang disebut tarombo (silsilah). Kekuatan kekerabatan terwujud dalam pemakaian tutur atau sapa. Tutur itu berisi aturan hubungan antar perorangan atau antar unsur dalam DNT. Tutur menjadi perekat bagi hubungan kekerabatan. Tidak kurang dari limapuluh macam tutur dalam kekerabatan Batak. Dengan menyebut tutur terhadap seseorang diketahuilah jalur hubungan kekerabatan diantara mereka yang menggunakannya. Tutur kekerabatan itu sekaligus menentukan prilaku apa yang pantas dan tidak pantas diantara mereka yang bergaul.

Jika seseorang memanggil tutur tulang yaitu mertua atau saudara laki-laki dari ibu kepada seseorang, maka sipemanggil adalah bere (anak) dari tulang tersebut. Konsekwensinya akan ada hak dan kewajiban diantara mereka secara timbal balik.

Tegaknya hak kewajiban diantara mereka sekaligus menentukan etika yang harus mereka jaga. Mereka harus menjaga etika dalam bersenda gurau. Demikian juga, tutur antara parumaen (istri anak atau menantu) terhadap amang boru (mertua laki-laki) ada etika adatnya yang masing-masing harus menjaganya,

S. De Jong (1970:7) mengatakan bahwa di bawah payung yang sama yaitu adat, manusia menjaga hak dan kewajiban tutur. Pada orang yang berbeda agama kadang terdapat sikap hidup yang sama. Alasannya cukup sederhana, yakni karena mereka semua pertama-tama merupakan orang Jawa atau Batak yang berpegang pada adat.

Dari gambaran adat DNT di atas, dapat dimengerti bahwa adat DNT dapat dibentuk dalam mengatur mekanisme integritas dan identitas antar marga (clan) di suatu kampung. Akan tetapi meskipun telah berkembang melintas batas daerah Batak namun konsep dasar adat DNT berlaku sama di setiap wilayah dan t! empat. Hal ini bisa terwujud karena tutur dalam DNT amat menjaga adanya etika. Dari luasnya hubungan kekerabatan dalam adat Batak maka dapat dilihat tumbuhnya harosuan (keakraban) dan nilai ini sangat mendasar dalam segala pergaulan. Nilai keakraban itu tidak sekedar teori, tapi diaplikasikan dalam bentuk mekanisme sosial adat DNT sampai sekarang.

Selain itu, yang senantiasa efektif penggunaanya dalam adat Batak adalah mengenai urusan siriaon dan sikukuton. Siriaon adalah kegiatan yang berkenaan dengan upacara adat bercorak kegembiraan seperti pesta perkawinan, mendirikan dan memasuki rumah baru, sedangkan siluluton adalah kegiatan adat yang bersifat duka cita seperti kematian. Dua macam peristiwa tersebut dipandang tidak dapat terlaksanan dengan baik tanpa partisipasi seluruh komponen adat DNT. (M.D. Harahap 1986:93).

Setiap warga Batak yang sudah berumah tangga otomatis menjadi anggota pemangk! u adat DNT. Tidak ada alasan bagi mereka yang telah berumah tangga untuk tidak ikut tampil dalam menyelesaikan urusan siriaon dan siluluton di tengah-tengah masyarakat secara adat DNT. Karena bila salah satu unsur dari adat DNT tidak hadir maka suatu pekerjaan adat di pandang tidak sah dan tidak kuat.

Bagaimana cara Melestarikan Adat DNT
Melestarikan suatu adat budaya dapat mempergunakan berbagai langkah seperti pemberian contoh/keteladanan, demontrasi, pemberian tugas, umpan balik, dan tindak lanjut. Langkah-langkah tersebut dapat dipergunakan dalam melestarikan adat DNT. Caranya tidak harus berurutan tetapi dapat digunakan cara yang berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan. Dengan langkah seperti memberi contoh maka adat yang semula hanya sebagai pengetahuan, dapat digiring menjadi sikap dan kemudian berubah wujud menjadi diamalkan dan dipraktikkan atau didemonstrasikan dalam kehidupan nyata. Tayar Yusuf (1997! :49) mengatakan dengan metode demonstrasi, yakni memperlihatkan bagaimana untuk melakukan jalannya suatu proses akan semakin lancarlah jalannya suatu adat. Disebut juga to show artinya mempertunjukkan suatu hal. Dengan latihan pengetahuan dan kecakapan tertentu dapat menjadi miliknya dan betul-betul dikuasai (Tayar Yusuf, 1997:64). Metode latihan/pembiasaan juga banyak membantu pemahaman adat yang dilatih tentunya adalah hal-hal yang bersifat praktis, operasional seumpama melatih Markobar (berbicara adat) di tengah-tengah suatu acara baik adat siriaon ataupun siluluton.

Yang dimaksud dengan umpan balik ialah dengan mengadakan suatu acara adat terhadap seseorang yang kurang begitu menjiwai adat, dengan harapan setelah ia mengikutinya maka dengan sendirinya ia menjadi pelaksana dan pendukung yang aktif. Secara gradual pengenalan adat akan dapat berjalan terus-menerus. Sedangkan sebagai tindak lanjut ialah dengan menyediakan saran! a dan prasarana yang diperlukan untuk acara adat.

Penilaiannya adalah apakah suku-suku pemangku adat Batak sudah mewariskan adat budaya daerah disertai dengan contoh teladan terhadap masyarakat pendukungnya. Kelemahannya selama ini adalah kurangnya keteladanan dan latihan, umpan balik dalam adat batak. Apakah karena derasnya pengaruh arus budaya luar yang cenderung materialistis dan kurang peduli dengan nilai-nilai kemanusiaan turut mempengaruhi tidak berjalannya penanaman nilai-nilai adat budaya daerah, termasuk adat budaya batak? Jawabannya diserahkan pada pembaca.

Simpulan
Adat budaya daerah, termasuk adat budaya Batak Dalihan Na Tolu dapat digunakan sebagai sarana dalam mempertahankan integrasi dan identitas bangsa, terutama di kalangan suku-suku yang ada di daerah secara luas. Di sana-sini pelaksanaan adat DNT semakin mengalami pendangkalan. Pendangkalan dimaksud ditandai dengan sema! kin berkurangnya perhatian masyarakat generasi muda mengenal dan melaksanakannya.

Diperlukan kerjasama yang baik dari semua pihak dalam memberi pengenalan dan pengamalan adat budaya daerah sebagai khasanah budaya nasional pembinaan adat budaya daerah/lokal dalam situasi bangsa menghadapi tantangan globalisasi menjadi penting guna menumbuhkan dan menguatkan kembali dalam berbangsa/bernegara.

Pustaka Acuan
Astuti Rahmani. 1992. Asal Usul Manusia: Menurut Bibel Al-Quran dan Sain, Bandung : Mizan.
Departemen Agama Sumatera Utara. 1999. Peta Keagamaan Propinsi Sumatera Utara, Medan.
Harahap M.D. 1986. Adat Istiadat Tapanuli Selatan. Grafindo Utama, Jakarta.
Harahap B. Hamidi. 1979. Jalur Migrasi Orang Purba di Tapanuli Selatan. Majalah Selecta no. 917.
Harahap. E St. 19! 60. Perihal Bangsa Batak: Bagian Bahasa. Jawatan Kebudayaan, Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Hutagalung, W.M. 1990. Pustaka Batak: Tarombo Dohot Turi-Turian Ni Bangso Batak, Tulus Jaya, Jakarta.
Nalom Siahaan. 1882. Adat Dalihan Na Tolu: Prinsip dan Pelaksanaannya, Grafindo, Jakarta.
St. Tinggibarani P. Alam 1977. Burangir Nahombar: Adat Tapanuli Selatan, Balai adat Padangsidempuan.
S. De Jong. 1970. Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa, Yayasan Kanisius, Yogyakarta.
Tayar Yusuf. 1970. Metodologi Pengajaran Agama. Raja Grafindo Pustaka, Jakarta.

===========================

Permalink 7 Comments

SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM BATAK

December 12, 2006 at 10:26 am (Blogroll)

Pendidikan di peradaban Batak bukanlah sesuatu yang baru. Institusi ‘partungkoan’ bisa dikatakan sebuah media yang sudah dikenal sejak dahulu kala sebagai cara untuk meneruskan ilmu pengetahuan dan sarana pengembangan sosial bagi generasi muda berikutnya.

Sejak pertama kali kedatangan Islam ke tanah Batak melalui, tanah Batak pesisir, Barus, pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting saat itu. Melihat konstelasi politik di pesisir dan tanah Batak yang berubah-ubah disinyalir bahwa sistem pendidikan Islam di tanah Batak juga berubah-ubah.

Seperti diketahui, ada dua aliran besar yang pernah memasuki tanah Batak. Pertama adalah kalangan Sunni dengan empat mazhabnya: Syafii, Maliki, Hambali dan Hanafi. Namun nampaknya pengaruh mazhab maliki tidak terlalu nampak dalam kedudayaan Islam di tanah Batak. Satu aliran lain adalah dari golongan syiah yang paling kuat menancapkan pengaruhnya di tanah Batak.

Bisa dikatakan bahwa syiahlah yang pertama sekali membentuk sistem pendidikan keagaaman di tanah Batak melalui Barus, pantai barat sumatera dan porsea danm kota-kota Batak lainnnya yang dialiri sungai asahan, dimana sumber airnya berasasl dari danau Toba.

Sistem pendidikan syiah tersebut, merupakan sistem tyang lazin dipakai di negeri-negeri Islam di tanah Arab saat itu. Perlu diketahui bahwa Universitas Al Azhar merupakan istitusi pendidikan tertua yang didirikan oleh kaum syiah. Salah satu sisa dari kejayaan syiah di tanah Batak adalah praktek tasawuf dan tarekat yang masih diamalkan oleh tetua Batak di pedalaman Batak. Sistem tarekat ini terkenal dengan sistem pembelajaran yang menggunakan kelambu. Pusat-pusat pengembangannya adalah di tanah Batak selatan, Barus dan lain sebagainya. Orang-orang dari tanah Batak utara biasanya akan pergi ke daerah-daerah tersebut untuk menimba ilmu dan mengamalkannya di kampung halaman masing-masing dengan istilah ‘mangaji’.

Pengaruh dari Hanafi dibawa oleh warga muslim Cina yang banyak datang berdagang di kawasan Batak Simalungun. Namun, sistem yang dibawa oleh kalangan Cina tersebut menyatu dengan sistem yang dibawa oleh orang-orang Persia, yang syiah sehingga sampai sekarang tidak terlalu terasa pengaruhnya. Sistem pendidikan hanafi menekankan kepada kemampuan analisa akal yang dibarengi oleh arguentasi-argumentasi dari kitab suci. Di pedalaman Batak, sistem ini ternyata sangat manjur karena kurangnya kesempatan mereka untuk kontak dengan ulama atau da’i yang tidak selalu datang untuk meng-upgrade atau memberi solusi atas masalah-masalah dan pengetahuan mereka ke desa-desa mereka yang terisolir.

Sistem pendidikan hambali yang ditandai atas kepatuhan dan kejuhudan serta penghormatan terhadap tradisi nabi mulai diterapkan saat masuknya orang-orang Padri ke tanah Batak. Sementara itu sistem syafii, yang menekankan hukum-hukum fiqih, baru terasa belakangan saat hubungan antara penduduk Batak dengan dunia luar sudah sangat minim akibat penjajahan Belanda. Paska kemerdekaan, sistem syafii ini pula yang banyak diberlakukan.

Yang dimaksud dengan sistem syafii adalah sistem pendidikan yang diterapkan oleh kalangan muslim yang bermazhab syafii di seluruh dunia. Begitu juga dengan sistem lainnya. Kalangan syafii, khusunya di Indonesia, menekankan pembelajaran kepada tokoh dan individu yang dianggap mahir dalam ilmu fiqih. Sehingga masalah dan ilmu pengetahuan apapunm yang akan mereka hadapi akan didasarkan kepada paradigma berpikir fiqhiyah.

Kalangan hambali lebih menekankan jalur hadits dan al-Quran, sedangkan kalangan hanafi lebih menekankan kemampuan filosofi dan ilmu kalam. Sementara itu kalangan syiah, sebagai sistem pendidikan yang paling tua di tanah Batak lebih menekankan kepada kemampuan memahami fenomena dunia melalui tarekat dan suluk. Agama parmalim di tanah Batak diyakini merupakan sistem kepercayaan tradisional Batak yang banyak dipengaruhi oleh cara berpikir tarekat dan suluk yang banyak berkembang di Barus pada awal-awal masuknya Islam. Istilah malim sendiri, yang berarti seorang yang dianggap parmalim, sama-sama dipakai oleh kalangan Islam dan Parmalim paska pengkristalan kepercayaan ini menjadi sebuah agama, juga berarti seorang yang alim dan dekat dengan Tuhan.

Walaupun begitu, semua sistem pendidikan tersebut, bisa saja memakai cara yang sama ketika berhadapan dengan masalah-masalah sehari-hari. Misalnya semua sistem terbut akan menggunakan ilmu hisab, ilmu hayat dan al jabar serta ilmu-ilmu lainnya untuk menangani hal-hal yang dianggap masalah duniawiyah.

Berikut adalah angka tahun pendidikan Islam di tanah Batak. Yang meliputi tanah Batak pedalaman yang sering disebut pusat tanah Batak atau Batak utara, Barus, Mandailing, Angkola atau Batak selatan, Gayo, Simalungun, Karo dan kawasan Batak di sekitar sungai Asahan sampai ke hilir sungainya di sumatera bagian timur.

633-661 M
Disinyalir pemerintahan Khulafa’ Al Rasyidin telah menjalin hubungan dengan beberapa kerajaan di Sumatera, termasuk Batak. Tapi hubungan itu masih sekedar hubungan antar negara dalam sebuah upaya untuk menjalin hubungan kerjasama ekonomi. Kapur barus, emas, merica dan rempah-rempah lainnya. Sumatera dikenal dengan istilah Zabag. Beberapa catatan mengenai kedatangan utusan dan pelaut muslim ke Barus dan pelabuhan sumatera lainnya yang dikuasasi Sriwijaya pernah didokumentasikan.

661-750
Pelaut-pelaut Arab yang Islam mulai berdatangan secara intens di masa pemerintahan Dinasti Umayyah. Kedatangan mereka untu misi dagang tersebut telah membentuk kantong-kantong muslim di tanah Batak, khususnya Barus, yang tentunya terjadinya transfer ilmu pengetahuan kepada penduduk setempat melalui medium non-formal.

718-726
Islam berkembang pesat di tanah Barus. Di lain pihak Islam berkembang di Sumatera masuknya beberapa raja Sriwijaya kepada Islam. Diantaranya Sri Indra Warman di Jambi.

730
Pedagang Arab di pesisir Sumatera mendapat persaingan dari pedagang Cina yang sangat aktif menyebarkan agama buddha mahayana. Kerajaan-kerajaan buddha dengan Sriwijaya-nya menjadi kekuatan yang sangat kuat menguasai sebagian besar pelabuhan-pelabuhan penting di Nusantara. Diyakini orang-orang Sriwijaya ini juga berhasil memasukkan ajaran Buddha ke komunitas Batak khusunya yang di Mandailing.

851
Seorang pedagang Arab berhasil mendokumentasikan kedatangannya di kota Barus. Laporan Sulaiman itu pada tahun 851 M membicarakan tentang penambangan emas dan perkebunan barus (kamper) di Barus (Ferrand 36).

Disinyalir bahwa para pendatang asing seperti Romawi, Yunani, Arab, Cina, India, Persia dan dari kepulauan Indonesia lainnya telah membangun kantong-kantong pemukiman yang lengkap dengan prasarana pendukungnya di Barus. Penambangan emas dan perkebunan kamper tersebut merupakan contoh bahwa kedua komoditas ini telah diolah secara modern dan bukan didapat secara tradisional di hutan-hutan.

Sekarang ini ahli sejarah menemukan bukti-bukti arkeologis yang memperkuat dugaan bahwa sebelum munculnya kerajaan-kerajaan Islam yang awal di Sumatera seperti Peurlak dan Samudera Pasai, yaitu sekitar abad-9 dan 10, di Barus telah terdapat kelompok-kelompok masyarakat Muslim dengan kehidupan yang cukup mapan (Dada Meuraxa dalam Ali Hasymi, Sejarah Masuk dan Perkembangan Islam di Indonesia, bandung PT Al Ma’arif 1987). Kehidupan yang mapan itu pula memungkinkan mereka untuk hidup secara permanen di kawasan ini yang sudah pasti didukung oleh sarana pengembangan ilmu pengetahuan agar mereka tidak tertinggal dengan pesaing lainnya.

Sebagai pelabuhan yang sangat masyhur, Barus menjadi tujuan pendidikan tertua bagi masyarakat Batak. Hal ini dikarenakan bahwa Barus merupakan wilayah Batak yang paling mudah dicapai oleh orang-orang Batak dari pedalaman yang ingin menimba ilmu. Jalan-jalan menuju Barus telah dirintis rapi oleh pedagang-pedagang Batak yang ingin menjual kemenyan dan membeli produk jadi dari Barus. Sampai era tahun 1980-an, madrasah-madrasah tradisional Barus masih menjadi primadona tujuan pendidikan di tanah Batak sebelum akhirnya digantikan oleh Mandailing dengan pesantren-pesantrennya yang sudah modern.

Masuknya gelombang pedagang dan saudagar ke Barus mengakibatkan penduduk lokal Batak di lokasi tersebut; Singkil, Fansur, Barus, Sorkam, Teluk Sibolga, Sing Kwang dan Natal memeluk Islam setelah sebelumnya beberapa elemen sudah menganutnya. Walaupun begitu, mayoritas masyarakat Batak di sentral Batak masih menganut agama asli Batak.

Kelompok Marga Tanjung di Fansur, marga Pohan di Barus, Batu Bara di Sorkam kiri, Pasaribu di Sorkam Kanan, Hutagalung di Teluk Sibolga, Daulay di Sing Kwang merupakan komunitas Islam pertama yang menjalankan Islam dengan kaffah

900
Ibnu Rustih kurang lebih pada tahun 900 M menyebut Fansur, nama kota di Barus, sebagai negeri yang paling masyhur di kepulauan Nusantara (Ferrand 79). Sementara itu tahun 902, Ibn Faqih melaporkan bahwa Barus merupakan pelabuhan terpenting di pantai barat Sumatera (Krom 204).

Sambil berdagang, para saudagar-saudagar Batak, marga Hutagalung, Pasaribu, Pohan dan Daulay biasanya akan memberikan ceramah dan majlis pendidikan kepada penduduk Batak pedalaman. Tradisi ini masih berlangsung sampai era 1980-an di negeri Rambe, Sijungkang dan lain sebagainya. Di daerah Bakkara, komunitas yang aktif dalam pendidikan Islam adalah kalangan Marpaung sejak abad-15. Pembelajaran secara cuma-cuma dan gratis ini bisa diartikan sebagai taktik dagang untuk mendekatkan mereka dengan penduduk setempat.

976-1168
Paham syiah mulai datang ke daerah Barus. Hal itu karena ekspansi perdagangan Dinasti Fatimiyah Mesir.

1128-1204
Kota Barus, dan beberapa daerah Batak lainnya seperti Gayo pernah direbut oleh Kesultanan Daya Pasai, dengan rajanya Kafrawi Al Kamil. Ekspanasi ini terlaksana dengan motif monopoli perekonomian. Sistem pendidikan yang lebih sitematis dari kalangan syiah menjadi marak di Barus dan daerah Batak lainnya. Kalangan intelektual Batak mulai unjuk gigi. Khususnya mereka kawin campuran dengan pedagang asing dari Arab, India dan Persia. Namun penguasaan pihak Aceh tersebut berlangsung hanya sementara. Di Barus kepemimpinan Dinasti Pardosi yang menjadi penguasa tunggal menjadi kesultanan Batak muslim yang sangat kuat. Kesultanan ini mempunyai aliansi yang kuat dengan Aceh, khusunya Singkel dan Meulaboh.

Kerajaan Batak Hatorusan yang menjadi penguasa di Barus dan pesisir Sumatera bagian barat sejak abad sebelum masehi tidak tampak hegemoninya. Disinyalir keturunannya menjadi raja-raja huta di Sorkam dengan penduduknya yang bermarga Pasaribu. Pada abad ke-16, Kerajaan Hatorusan ini muncul kembali dengan naiknya Sultan Ibrahimsyah Pasaribu menjadi Sultan Barus Hilir. Dinasti Pardosi kemudian dikenal sebagai Sultan Barus Hulu.

Persaingan politik antar mereka membuat kedua kesultanan ini sering berpecah. Sultan di Hulu lebih dekat kepada Aceh dan yang di Hilir lebih dekat kepada Minang. Minang dan Aceh sendiri merupakan dua kekuatan yang saling berkompetisi dalam memperebutkan pengaruh di Barus. Baik pada saat mereka Islam maupun Buddha dan Hindu.

Kalangan intelektual Arab mulai berdatangan ke Barus. Ekspor kapur barus meningkat tajam seiring dengan meningkatnya permintaan. Barus menjadi rebutan banyak kekuatan asing dan lokal. Pada permulaan abad ke-12, seorang ahli geografi Arab, Idrisi, memberitakan mengenai ekport kapur di Sumatera (Marschall 1968:72). Kapur bahasa latinnya adalah camphora produk dari sebuah pohon yang bernama latin dryobalanops aromatica gaertn. Orang Batak yang menjadi produsen kapur menyebutnya hapur atau todung atau haboruan

Beberapa istilah asing mengenai Sumatera adalah al-Kafur al-Fansuri dengan istilah latin Canfora di Fanfur atau Hapur Barus dalam bahasa Batak dikenal sebagai produk terbaik di dunia (Drakard 1990:4) dan produk lain adalah Benzoin dengan bahasa latinnya Styrax benzoin. Semua ini adalah produk-produk di Sumatera Barat Laut dimana penduduk aselinya dalah orang-orang Pakpak dan Toba (Associate Prof. Dr Helmut Lukas, Bangkok 2003).

1275-1292
Orang-orang Hindu Jawa mulai unjuk gigi dengan Ekspedisi Pamalayu kerajaan Singosari. Beberapa daerah Batak dijadikan menjadi kerajaan Hindu, khususnya yang di Simalungun. Pihak Hindu Jawa yang menggantikan kekuatan Buddha mengancam perdagangan saudagar-saudagar muslim yang didukung oleh Kesultanan Daya Pasai dengan beberapa sekutunya seperti Kesultanan Samudera Pasai, Kesultanan Kuntu Kampar, Aru Barumun, Bandar Kalipah dan lain-lain.

1285-1522
Kesultanan Samudera Pasai mulai tampak kepermukaan dengan raja pertamanya Sultan Malik Al Shaleh, seorang putera Batak Gayo, bekas prajurit Kesultanan Daya Pasai. Samudera Pasai berdiri di atas puing-puing kerajaan Nagur di sungai Pasai, yang dirobohkan oleh orang Batak Karo.

Uniknya, kesultanan ini telah memakai paham syafii yang menjadi kompetitor terhadap syiah yang sudah lama menancapkan kekuatan politik dan budayanya kepada masyarakat Indonesia. Sistem pendidikan ala syafii mulai masuk ke tanah Batak.

Kesultanan Samudera Pasai sekarang ini dikenal sebagai kesultanan Aceh karena secara geografis memang terletak di tanah Aceh. Namun sebagai sebuah kesultanan yang dibangun oleh maha putera Batak Gayo dari Nagur, posisinya tidak dapat dihilangkan dalam percaturan sistem budaya dan pendidikan di tanah Batak.

Kerabat Sultan Malik Al Shaleh, yakni Syarif Hidayat Fatahillah merupakan tokoh yang mendirikan kota Jakarta dan menjadi Sultan Banten (Emeritus) dan ikut serta mendirikan Kesultanan Cirebon. Dia, yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, adalah tokoh yang berhasil menyelamatkan penduduk pribumi dari amukan bangsa Portugis.

Sultan Malik Al Shaleh sendiri lahir di Nagur, di tanah Batak Gayo. Dia adalah mantan prajurit Kesultanan Daya Pasai. Sebuah kerajaan yang berdiri di sisa-sisa kerajaan Nagur atau tanah Nagur. Nama lahirnya adalah Marah Silu. Marah berasal dari kata Meurah yang artinya ketua. Sedangkan Silu adalah marga Batak Gayo.

Sepeninggalannya (1285-1296) dia digantikan oleh anaknya Sultan Malik Al Tahir (1296-1327). Putranya yang lain Malik Al Mansyur pada tahun 1295 berkuasa di barumun dan mendirikan Kesultanan Aru Barumun pada tahun 1299.

Malik Al Mansyur sangat berbeda keyakinannya dengan keluarganya yang sunni. Dia adalah penganut taat syiah yang kemudian menjadikan kesultanannya sebagai daerah syiah. Dengan demikian dia dapat dijadikan sebagai tokoh Batak Syiah (Gayo). Semua ini dikarenakan karena dia menikah dengan putri Nur Alam Kumala Sari binti Sultan Muhammad Al Kamil, pemimpin di Kesultanan Muar Malaya yang syiah.

Kekuasaan Kesultanan Aru Barumun terletak di sekitar area sungai Barumun yang menjadi titik penting perdagangan antara Padanglawas sampai Sungai Kampar. Penghasilan negara didapat dari ekspor dan impor merica dan lain sebagainya.

Kesultanan Aru barumun berhubungan baik dengan pihak Cina pada era Dinasti Ming (1368-1643). Pada periode 1405-1425 beberapa utusan dari Cina pernah singgah, di antaranya Laksamana Ceng Ho dan Laksamana Haji Kung Wu Ping. Di era ini paham Hanafi ikut serta dalam memperkaya khazanah sistem pendidikan di tanah Batak, karena para utusan dari Cina yang muslim tersebut menganut faham hanafi dalam praktek sehari-hari.

Dinasti Batak Gayo di Kesultanan Barumun adalah sebagai berikut:
1. Sultan Malik Al Mansyur (1299-1322)
2. Sultan Hassan Al Gafur (1322-1336)
3. Sultan Firman Al Karim (1336-1361), pada era nya banyak bertikai dengan kekuatan imperialis Jawa Majapahit. Di bawah panglima Laksamana Hang Tuah dan Hang Lekir, pasukan marinir Aru Barumun berkali-kali membendung kekuatan Hindu Majapahit dari Jawa.
4. Sultan Sadik Al Quds (1361). Wafat akibat serangan jantung.
5. Sultan Alwi Al Musawwir (1361-1379)
6. Sultan Ridwan Al Hafidz (1379-1407). Banyak melakukan hubungan diplomatik dengan pihak Cina
7. Sultan Hussin Dzul Arsa yang bergelar Sultan Haji. Pada tahun 1409 dia ikut dalam rombongan kapal induk Laksamana Cengho mengunjungi Mekkah dan Peking di zaman Yung Lo. Dia terkenal dalam annals dari Cina pada era Dinasti Ming dengan nama “Adji Alasa” (A Dji A La Sa). Orang Batak yang paling dikenal di Cina.
8. Sultan Djafar Al Baki (1428-1459). Meninggal dalam pergulatan dengan seekor Harimau.
9. Sultan Hamid Al Muktadir (1459-1462), gugur dalam sebuah pandemi.
10. Sultan Zulkifli Al Majid. Lahir cacat; kebutaan dan pendengaran. Pada tahun 1469, kesultanan Aru Barumun diserang oleh kesultanan Malakka, atas perintah Sultan Mansyur Syah yang memerintah antara tahun 1441-1476. Kota pelabuhan Labuhanbilik dibumihanguskan dan Angkatan Laut Kesultanan Aru Barumun dimusnahkan.
11. Sultan Karim Al Mukji (1471-1489)
12. Sultan Muhammad Al Wahid (1489-1512). Gugur dalam pertempuran melawan bajak laut Portugis.
13. Sultan Ibrahim Al Jalil (1512-1523) ditawan dan diperalat oleh Portugis.

Semua anggota dinasti di atas adalah bersuku Batak Gayo. Saat menurunnya kekuasaan Kesultan Aru, maka pihak Aceh mulai menancapka hegemoninya di Aru Barumun. Pihak Aceh berkompetisi dengan para bajak laut Eropa di kekosongan kekuatan politik di daerah tersebut.

Pada tahun 1802-1816, di bawah pimpinan Fachruddin Harahap, seorang Batak Mandailing, dengan gelar Baginda Soripada, penduduk khususnya dari Gunung Tua merebut bagian hulu dari bekas Kesultanan Aru Barumun. Semua lambang kerajaan disita termasuk cap dan simbol-simbol lainnya.

1331-1364
Era Majapahit. Hegemoni kekuatan Imperialisme Hindu Jawa di Nusantara, tak terkecuali tanah Batak. Perkembangan pendidikan di tanah Batak sedikit tidak mengalami penambahan yang signifikan. Kekuatan penduduk yang menjadi militer di tanah Batak sibuk membendung kekuatan Majapahit dengan bantuan pihak Aceh.

Panglima Mula Setia dan Samudera Pasai berhasil mengusir kekuatan Majapahit dari Sumatera bagian Utara. Pada tahun 1409, tentara Majapahit dimusnahkan oleh kekuatan tentara Pagarruyung di Minang, Sumatera Barat. Kekuatan Majapahit melemah.

1345
Kedatangan para intelektual Arab dan asing kembali terjadi di beberapa kota pelabuhan di Sumatera. Tidak terkecuali Barus. Pada abad-13 Ibnu Said membicarakan peranan Barus sebagai pelabuhan dagang utama untuk wilayah Sumatera (Ferrand 112).

1450-1515
Samudera Pasai menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan sosial mazhab syafii yang bersaing melawan pusat-pusat pendidikan dan sosial syiah yang banyak bertebaran di beberapa tempat di Sumatera termasuk tanah batak.

1451
Misi pedagang dari Malaka yang menjadi sekutu Samudera Pasai berhasil menjalin kerjasama ekonomi dengan para saudagar Batak di sepanjang sungai Asahan. Tokoh seperti Datuk Sahilan menjadi inspirator bagi saudagar Batak untuk masuk agama Islam (Syafii). Di pedalaman Batak pada tahun 1450-1500 M, Islam menjadi agama resmi orang-orang Batak Toba, khususnya dari kelompok marga Marpaung yang bermukim di aliran sungai Asahan. Demikian juga halnya dengan Batak Simalungun yang bermukim di Kisaran, Tinjauan, Perdagangan, Bandar, Tanjung Kasau, Bedagai, Bangun Purba dan Sungai Karang.

Antara tahun 1450-1818 M, kelompok marga Marpaung menjadi supplaier utama komoditas garam ke Tanah Batak di pantai timur. Mesjid pribumi pertama didirikan oleh penduduk setempat di pedalaman Tanah Batak; Porsea, lebih kurang 400 tahun sebelum mesjid pertama berdiri di Mandailing. Menyusul setelah itu didirikan juga mesjid di sepanjang sungai Asahan antara Porsea dan Tanjung Balai. Setiap beberapa kilometer sebagai tempat persinggahan bagi musafir-musafir Batak yang ingin menunaikan sholat. Mesjid-mesjid itu berkembang, selain sebagai termpat ibadah, juga menjadi tempat transaksi komoditas perdagangan.

Dominasi pedagang muslim marga Hutagalung dalam bidang ekonomi di Tanah Batak terjadi antara 1513-1818 M. Komunitas Hutagalung dengan karavan-karavan kuda menjadi komunitas pedagang penting yang menghubungkan Silindung, Humbang Hasundutan dan Pahae. Marga Hutagalung di Silindung mendirikan mesjid lokal kedua di Silindung. Marga Hutagalung menjadi komunitas Islam syiah di pedalaman Batak.

Abad 15-16
Barus dengan kepemimpinan Dinasti Pardosi yang menjadi Sultan Hulu dan Dinasti Pasaribu yang menjadi Sultan Hilir Barus, membangun sistem pendidikan yang modern di Barus. Zaman kejayaan pendidikan Islam muncul di era ini. Beberapa tokoh intelektual lokal bermunculan. Barus menjadi kota tujuan utama musafir asing.

Pada permulaan abad-16, Tome Pires-seorang pengembara Portugis- yang terkenal dan mencatat di dalam bukunya “Suma Oriental” bahwa Barus merupakan sebuah kerajaan kecil yang merdeka, makmur dan ramai didatangi para pedaganga asing.

Dia menambahkan bahwa di antara komoditas penting yang dijual dalam jumlah besar di Barus ialah emas, sutera, benzoin, kapur barus, kayu gaharu, madu, kayu manis dan aneka rempah-rempah (Armando Cartesao, The Suma Oriental of Tome Pires and The Book of Rodrigues, Nideln-Liechtenstein: Kraus Reprint Ltd,.1967; hal. 161-162).

Seorang penulis Arab terkenal Sulaiman al-Muhri juga mengunjungi Barus pada awal abad ke-16 dan menulis di dalam bukunya al-Umdat al-Muhriya fi Dabt al-Ulum al-Najamiyah (1511) bahwa Barus merupakan tujuan utama pelayaran orang-orang Arab, Persia dann India. Barus, tulis al-Muhri lagi, adalah sebuah pelabuhan yang sangat terkemuka di pantai Barat Sumatera.

Pada pertengahan abad ke-16 seorang ahli sejarah Turki bernama Sidi Ali Syalabi juga berkunjung ke Barus, dan melaporkan bahwa Barus merupakan kota pelabuhan yang penting dan ramai di Sumatera. (Lihat. L.F. Brakel, Hamza Pansuri, JMBRAS vol. 52, 1979).

Sebuah misi dagang Portugis mengunjungi Barus pada akhir abad ke-16, dan di dalam laporannya menyatakan bahwa di kerajaan Barus, benzoin putih yang bermutu tinggi didapatkan dalam jumlah yang besar. Begitu juga kamfer yang penting bagi orang-orang Islam, kayu cendana dan gaharu, asam kawak, jahe, cassia, kayu manis, timah, pensil hitam, serta sulfur yang dibawa ke Kairo oleh pedagang-pedagang Turki dan Arab. Emas juga didapatkan di situ dan biasanya dibawa ke Mekkah oleh para pedagang dari Minangkabau, Siak, Indragiri, Jambi, Kanpur, Pidie dan Lampung. (Lihat B.N. Teensma, “An Unkown Potugese Text on Sumatera from 1582”, BKI, dell 145, 1989.

Syair-syair Hamzah Fansuri menggambarkan keindahan kota Barus saat itu. Keramaian dan kesibukan kota pelabuhan dengan pasar-pasar dan pandai emasnya yang cekatan mengubah emas menjadi “ashrafi”, kapal-kapal dagang besar yang datang dan pergi dari dan ke negeri-negeri jauh, para penjual lemang tapai di pasar-pasar, proses pembuatan kamfer dari kayu barus dan keramaian pembelinya, lelaki-lelaki yang memakai sarung dan membawa obor yang telah dihiasi dalam kotak-kotak tempurung bila berjalan malam.

Gadis-gadis dengan baju kurung yang anggun dan di leher mereka bergantung kalung emas penuh untaian permata, yang bila usia nikah hampir tiba akan dipingit di rumah-rumah anjung yang pintu-pintunya dihiasi berbagai ukiran yang indah.

Pada bagian lain syair-syairnya juga memperlihatkan kekecewaanya terhadap perilaku politik sultan Aceh, para bangsawan dan orang-orang kaya yang tamak dan zalim. (Mengenai kesusateraan Hamzah Fansuri lihat S.N. al-Attas, The Origin of Malays Sha’ir, Kulala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1968. Juga baca V.I. Braginsky, Tasawuf dan Sastra Melayu, Jakarta: RUL,. 1993, khususnya esai “Sekali Lagi Tentang Asal-usul Sya’ir”; hal 63-76.

Hamzah Fansuri yang hidup di masa perebutan kekuatan maritim antara Aceh dan Minang mendapat pengaruh besar di kalangan intelektual Aceh. Van Nieuwenhuijze (1945) dan Voerhoeve (1952) berpendapat bahwa Hamzah Fansuri memainkan peran penting di dalam kehidupan kerohanian di Aceh sampai akhir pemerintahan Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah Sayyid al-Mukammil (1590-1604).

Sementara itu muridnya Syamsuddin al-Sumatrani naik peranannya baru pada zaman Sultan Iskandar Muda saat dia bermigrasi ke Aceh. Diyakini dalam mundurnya pamor Barus, banyak sarjana-sarjana Batak yang pindah ke Aceh, Kutaraja, karena kehadiran mereka disana sangat disegani. Mengenai Syamsuddin sebaiknya baca C.A.O. Niewenhujze, Syamsu’l Din van Pasai, Bijdrage tot de Kennis der Sumatranche Mystiek, disertasi Universitas Leiden, 1945.

Namun pemikiran filsafat Wujudiyah Hamzah Fansuri mendapat tantangan dari ulama Aceh. Ahmad Daudy di dalam bukunya Allah dan Manusia dalam konsepsi Syeikh Nuruddin Ar-Raniry, Jakarta; CV Rajawaki Press, 1983; hal. 41, antara lain menulis, “Selain sebagai mufti, Syeikh Nuruddin juga seorang penulis yang menyanggah Wujudiyah. Seringkali ia mengadakan perdebatan dengan penganut ajaran ini, dan kadang-kadang majelis diskusi diakadakan di istana dimana sultan sendiri menyaksikannya.

Dalam perdebatan itu Syeikh Nuruddin berkali-kali memperlihatkan adanya kelemahan dan penyimpangan dalam ajaran Wujudiyah…., serta meminta agar mereka ini bertobat… tetapi himbauannya tidak dihiraukan mereka, dan akhirnya mereka dihukum kafir yang boleh dibunuh, sedangkan kitab-kitab karangan Hamzah dan Syamsuddin dikumpulkan dan kemudian dibakar di halaman mesjid raya Baiturrahman.”

Tentang peristiwa pembakaran kitab karangan penulis Wujudiyah, dan hukum bunuh terhadap pengikut-pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin, Lihat buku Nuruddin al-Raniry, Bustan al-Salatin edisi T. Iskandar, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1966: hal. 46.

Perlakuan itu diterima Hamzah Fansuri, karena kritik-kritik tajamnya terhadap pemerintahan monolitik Sultan Aceh, perilaku buruk orang-orang kaya dan praktik yoga (dari Hindu India) yang diamalkan ahli-ahli tarekat di Aceh pada awal abad ke-17, baca S.N. al-Attas The Mysticism of Hamzah Fansuri, Kuala Lumpur: Universiti malaya Press, 1970; hal. 16-17. juga baca L.F. Brakel, ‘Hamzah Pansuri’; V.I. Braginsky “Puisi Sufi Perintis Jalan” (Analisis Syair-syair Hamzah Fansuri tentang Kekasih, Anggur dan Laut”) ceramah di Sudut Penulis, Dewan Bahasa dan Pusataka, Kuala Lumpur, 27-28 Oktober 1992; juga Abdul Hadi W.M. ‘Syeikh Hamzah Fansuri ‘Ulumul Qur’an, No. 2, Vol. V, 1994.

Akibat pertentangan politik antara Barus dan Aceh, berakibat pula kepada pertentangan faham keyakinan. Intelektual Barus yang banyak condong ke paham syiah dibasmi oleh kekuatan Aceh sehingga menyebabkan kemunduran atas kemajuan pendidikan di Barus. Dikatakan bahwa orang-orang yang mendukung faham Fansur bahkan harus hidup dalam persembunyian untuk menyelamatkan jiwa mereka. Kuburan-kuburan tokoh yang sepaham dengannya sengaja tidak ditandai batu nisannya agar keberadaan mereka tidak terdeteksi oleh pihak Aceh yang penduduknya banyak berdagang di Barus.

Para sarjana Batak yang berpaham syiah mengalami kendala dalam melanjutkan sistem pendidikan di Barus yang sudah sangat modern saat itu. Praktis pendidikan di Barus dan wilayah-wilayah Batak lainnya mengalami kepunahan. Di tanah Batak sendiri hanya Parmalim yang terus eksis.

1497-1513
Panglima Manang Sukka, oranga Batak Karo, mendirikan Kesultanan Haru Delitua dengan nama Sultan Makmun Al Rasyid.

1697
Universitas Islam Ulakan, Pariaman, Sumatera Barat, menjadi pusat pengembangan Islam syiah dengan tokoh Syekh Burhanuddin. Pengaruh universitas ini sampai ke tanah Natal, Singkuang, teluk Sibolga dan Barus. Sumatera Barat menjadi tujuan mencari ilmu pengetahuan bagi orang-orang Batak

1804-1807
Dominasi sistem pendidikan berbasis syiah yang sedikit dicampur dengan faham syafii dan hanafi mendapat kompetisi dari mazhab hambali yang muncul di Sumatera Barat dengan gerakan padrinya.

1873
Sebuah mesjid di Tarutung, Silindung, dirombak oleh Belanda. Haji-haji dan orang-orang Islam, kebanyakan, dari marga Hutagalung, diusir dari tanah leluhur dan pusaka mereka di Lembah Silindung. Belanda melakukan pembersihan etnis, terhadap muslim Batak.

1912
Perkembangan Islam, yang tidak diperbolehkan Belanda untuk mengecap pendidikan, walau paska kebijakan balas budi, kemudian bangkit mendirikan Perguruan Mustofawiyah. Disinyalir sebagai sekolah pribumi pertama di tanah Batak yang sudah modern dan sistematis. Peran mazhab syafii mulai terlihat.

Haji Mustofa Husein Purba Baru, dari marga Nasution, merupakan penggagas perguruan ini. Dia, yang dikenal sebagai Tuan Guru, merupakan murid dari Syeikh Muhammad Abduh, seorang reformis dan rektor Universitas Al Azhar.

Lulusan perguruan Musthofawiyah ini kemudian menyebar dan mendirikan perguruan-perguruan lain di berbagai daerah di Tanah Batak. Di Humbang Hasundutan di tanah Toba, alumnusnya yang dari Toba Isumbaon mendirikan Perguruan Al Kaustar Al Akbar pada tahun 1990-an setelah mendirikan perguruan lain di Medan tahun 1987. Daerah Tatea Bulan di Batak Selatan merupakan pusat pengembangan Islam di Sumut.

1945
Sistem pendidikan modern diterapkan di tanah Batak. Banyak madrasah dan tempat pengajian tradisional diubah menjadi tsanawiyah dan aliyah dibawah departemen agama. Negatifnya adalah, institusi pendidikan di tanah Batak menjadi kerdil. Institusi yang bermutu yang lulusannya bisa ditandingkan dengan lulusan universitas modern akhirnya hanya diakui sebagai lulusan madrasah aliyah yang pengakuannya sangat minimal di tengah-tengah masyarakat. Banyak desa-desa di tanah Batak (khususnya yang utara) ditinggalkan oleh penduduknya yang muslim karena ketiadaan regenerasi kalangan pendidik.

posted by marbun@
Sunday, September 03, 2006

Permalink 3 Comments

Hello world!

December 12, 2006 at 9:52 am (Uncategorized)

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

Permalink 1 Comment